Antiklimaks
By: Tri Hardiansyah
****
Langit yang gelap mulai berganti dengan sebercikkan sinar mentari, bintang-bintang di langit yang menghiasi gelapnya malam satu persatu hilang tiada terlihat dan embun-embun yang menyelimuti terada mulai menetesi dedaunan kemudian menghilang, mentari pun beranjak bangun dari mimpi yang menjadi selimut tidurnya sehingga warna dan hijaunya dunia berlahan-lahan terlihat.
Pagi itu, seorang pemuda dengan rambut tertata rapi dengan pakaian dan raksi yang menusuk cela-sela hidung orang yang berada didekatnya laki-laki itu adalah Ferli dia berjalan melintasi hutan yang didalamnya terdapat sekolah yang megah dengan pagar yang mengelilingi dan tinggi seperti tembok China. Karena bagi mereka yang rumahnya tinggal jauh dari sekolah harus tinggal di Asrama agar tidak datang terlambat termasuklah Ferli yang rumahnya jauh dari Asrama bahkan orang tidak mengenal tempat tinggalnya. Saat kakinya menginjakkan kaki pertamanya di sekolah secepat dia memandangi kertas yang tertempel dipapan, orang-orang sudah memadati kertas tertempel itu bagaikan ada sebuah pertunjukkan yang baru terlihat, dengan tas yang besar dan karpet yang panjang dia berlahan mendekati kertas yang tertempel dan dia melihat dirinya berada di kamar tiga, tanpa membuang waktu yang ada dia berjalan mencari kamar tiga setelah berkeliling-keliling mengitari Asrama yang begitu banyak kamarnya dia kembali kepintu awal masuk untuk mengulang awal mencari dengan kaki melangkah terus tanpa henti dengan mata melihat keatas sepertinya kaki dan mata tidak ada kebersamaan, keluar seorang laki-laki dengan badan yang besar menabrak Ferli yang berjalan tidak melihat kedepan
“Drup…dup…dup” suara tas Ferli jatuh di ikuti badan nya seakan pohon yang mau tumbang, orang melihat langsung mengalihkan pandangan kepada dua laki-laki ini,
“Maaf” kata Ferli bangkit dan mengulurkan tangannya
“Ya” kata laki-laki yang berbadan besar kemudian menyambut tangan Ferli
“Oh ya, saya Ferli” memperkenalkan diri dan menjulurkan tangan untuk bersalaman
“Saya Saemje” menjulurkan tangannya dan mereka bersalam
“Saya mau cari kamar tiga, tapi karena terlalu banyak pintu terpaksa saya ulang lagi dari pintu masuk ini” Ferli menunjukkan pintu masuk
“Kamu kamar tiga juga? Saya juga tiga” Saemje menunjukkan kamar di depannnya
“Wah, saya sudah berapa kali putar kesana-kemari rupanya didepan mata” Ferli menarik nafas dan memegang rambutnya
“Ya, sudah kita masuk” kata Saemje mengambil tas Ferli yang masih tergeletak di lantai dan berjalan masuk ke kamar tiga.
Setelah beranjak dengan kaki yang masih nyeri mereka masuk kemar, di ruang kamar yang tidak begitu luas dengan kamar yang bersih dihiasi sawang bagaikan jaring Spedermen menyerang musuhnya terlihat mengobrak-abrik kamar ini. Seorang laki-laki dengan badan yang gemuk, lagi menengadahkan tangan dengan kain putih dan peci hitam dikepalanya lagi berkomunikasi dengan Tuhannya, Saemje pun meletakkan tas Ferli keatas kasurnya.
“Oh ya Fer ini Fiozi” Saemje menunjuk ke Fiozi lagi berdoa
Dengan meletakkan tangannya seraya bersujud Fiozi mengahiri doanya,
“Hai, Saya Ferli” Ferli mengulurkan tangannya
“Fiozi” Membalas uluran tangan Ferli
Setelah berbincang dengan ramahnya mengenal antara satu dengan yang lain dan merapikan kamar yang berantakkan itu, mereka pun memutuskan untuk memilih Fiozi sebagai ketua Asrama, akan tetapi Fiozi menolak untuk di jadikan ketua Asrama dia takut memegang amanah lalu dia menyarankan kalau yang menjadi ketua Asrama mereka Saemje saja, dan Saemje pun menyanggupinya.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar